Di usia setengah abad ini, dr. Ida masih terlihat sehat dan bugar di tengah kesibukannya yang padat. Selain menjadi dosen luar biasa di Universitas Indo nesia, ia juga berpraktik di RS Pondok Indah Puri Indah dan RS Hermina Daan Mogot, juga aktif sebagai Wakil Ketua di organisasi PDGKI Jaya (Persatuan Dokter Gizi Klinik Indonesia) Jaya, sebuah wadah yang menaungi para dokter spesialis gizi klinik di wilayah DKI Jakarta. Meski ia mengaku mengalami “kecelakaan” terjun di dunia kedokteran bidang gizi klinik, ia kini justru merasa sangat tertarik dan jatuh cinta dengan bidang yang satu ini.
GAGAL MENJADI DOKTER KEBIDANAN
Sejak kecil, cita-citanya sebagai seorang guru tidak bisa terwujud. Tetapi dokter berusia 52 tahun ini mengaku tidak patah semangat. Ia pun memutuskan memilih kuliah di kedokteran dengan menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Atma Jaya. Bahkan di saat keinginannya menjadi seorang dokter kebidanan kandas, Ia tetap optimis.
Apa yang membuat Anda tertarik dan serius di bidang gizi klinik?
Sebenarnya saya justru tidak mau kuliah di gizi klinik. Saya justru mau belajar ilmu kebidanan dan ingin melanjutkan sekolah di Berlin Universitat, Jerman. Segala persiapan sudah dilakukan mulai dari belajar bahasa Jerman sampai pengurusan permintaan beasiswa di sana. Namun rencana belajar di negeri orang kandas karena banyak hal. Akhirnya saya memutuskan untuk mengurus anak saja di rumah.
Kenapa setelah berjanji fokus mengurus anak, Anda justru memutuskan untuk melanjutkan studi bidang gizi klinik?
Janji tinggal janji. Ternyata saya tidak berbakat diam di rumah dan hanya mengurus keluarga saja. Saya dikenalkan dengan istilah ilmu gizi klinik oleh Om dari suami yang kebetulan seorang dokter spesialis kulit. Beliau mengerti kegalauan saya waktu itu. Dia bilang, untuk apa kamu begitu? Kamu kan lulusan kedokteran, sayang kalau hanya sampai disitu saja. Dia pun menyarankan saya untuk melanjutkan sekolah S2 dan menawarkan saya untuk ambil spesialisasi di gizi klinik. Saya sempat bingung karena saya tahunya gizi itu ilmu tentang masakan. Masak saja saya tidak bisa, kok saya harus ambil bidang itu. Tapi setelah saya pikirkan masak-masak, saya putuskan untuk memilih bidang tersebut dan daftar di Universitas Indonesia. Ternyata saya diterima dan lulus dengan nilai yang cukup baik.
Apa yang terjadi setelah Anda mengenal gizi klinik selama perkuliahan?
Pertama kuliah, saya masih bingung lama kelamaan, saya malah tertarik dengan gizi klinik. Ternyata gizi itu penting lho. Akhirnya saya makin suka dan jatuh cinta dengan bidang ini. Ibarat pepatah “witing tresno jalaran soko kulino” itu benar juga. Itu yang saya alami. Setelah lulus, saya diminta untuk mengajar dan ini seperti tawaran gayung bersambut karena memang saya hobi mengajar. Dari kecil, cita-cita saya memang ingin menjadi guru. Tapi kakek saya bilang jangan jadi guru, akhirnya saya pilih kedokteran.
Menurut Anda, bagaimana kondisi masyarakat Indonesia saat ini terutama dari sisi gizi mereka?
Kalau hanya bicara masyarakat indonesia yang ada di kota-kota besar biasanya adalah berkaitan dengan penyakit degeneratif seperti hipertensi, jantung koroner, diabetes mellitus dan lain-lain yang disebabkan karena kelebihan gizi. Sementara kalau di daerah, justru banyak yang gizinya kurang. Ini sangat disayangkan. Indonesia itu punya double burden of disease atau dua beban ganda di bidang kesehatan. ini merupakan keadaan dimana penyakit menular belum teratasi dengan baik namun di sisi lain penyakit tidak menular mulai meningkat.
Apakah banyak masyarakat Indonesia yang mulai peduli terhadap gizi?
Saya kira iya. Apalagi sekarang banyak sekali iklan-iklan televisi yang menggaungkan pentingnya gizi. Salah satunya adalah Germas (Gerakan masyarakat Hidup Sehat) dan Gentas (Gerakan Nusantara Tekan Angka Obesitas). Saya ikut terlibat bersama beberapa dokter lain. Kami mengingatkan masyarakat Indonesia untuk tidak terlalu banyak makan atau makan berlebih. Saya kira, peranan media, baik televisi, radio, koran, dan majalah sangat penting untuk menginformasikan pentingnya gizi bagi masyarakat Indonesia.
GIZI IDENTIK DENGAN MAKANAN
Dokter Ida menjelaskan bahwa ada banyak faktor yang membuat Indonesia mengalami dua masalah tersebut. Menurutnya, setiap kasus gizi yang dihadapi setiap orang tidak sama. Di daerah-daerah tertentu bukan sekadar masalah gizi, tapi masalah ketersediaan pangan untuk mereka. “Kedua, kondisi ekonomi mereka, ada makanan tapi tidak bisa beli. Atau distribusi pangan yang susah, misalnya makanannya ada di daerah hutan terpencil, susah untuk dikirim ke kota-kota besar. Demikian pula sebaliknya,” ujar wanita yang gemar menyantap gado-gado dan pecel sebagai makanan favoritnya.
Penyebab lain, mungkin karena pengetahuan masyarakat yang kurang, karena mereka tidak bisa membaca atau tidak ada informasi untuk itu. Selain itu, peranan media yang sampai ke daerah terpencil belum ada akibat belum ada aliran listrik dan sebagainya. Karena itu, para dokter yang ditempatkan di daerah menjadi ujung tombak untuk menginformasikan pentingnya gizi. “Mata kuliah tentang gizi selalu ada di semua fakultas kedokteran. Kami juga melatih para dokter jika mereka berada di daerah, mereka bisa tahu apa yang mereka bisa lakukan,” imbuh dr. Ida sambil tersenyum.
Dokter Ida, gizi itu identik dengan makanan. Ibarat mobil, maka makanan adalah bensinnya. Bagaimana mobil bisa berjalan dengan baik jika diisi dengan bahan bakarnya sembarangan. Yang ada justru akan membuat mobil cepat rusak. Demikian pula dengan tubuh manusia. “Masa badan kita mau dikasih makanan seadanya saja. Artinya, gizi punya peranan sangat penting yang membuat orang menjadi sehat dan bugar secara keseluruhan. Sehat itu artinya dilihat dari fisik dan spiritual. Sedangkan bugar, tidak identik dengan sehat. Bugar itu artinya kita punya energi lain untuk melakukan kegiatan di luar rutinitas kita. Jadi orang sehat belum tentu bugar,” ujar dr. Ida.
HIDUP SEHAT & BUGAR DENGAN OLAHRAGA
Tidak bisa dipungkiri jika gaya hidup menjadi faktor penting untuk menentukan seseorang hidup sehat dan bugar. Karena itu, dr. Ida memiliki kiat khusus agar ia bisa tampil sehat dan bugar. “Makanannya harus bagus. Karena saya tidak terlalu suka daging merah, maka saya akan selalu cari ikan. Saya juga penggemar berat buah dan sayur-sayuran,” paparnya kembali. Ia juga aktif olahraga setiap hari selama 1-2 jam yaitu dengan melakukan dansa dan jalan kaki. “Saya belajar line dance sudah 5 tahun lalu. Kemudian berhenti 1 tahun dan akhirnya sekarang lagi olahraga ini,” sambungnya.
Dokter Ida juga mengaku senang bisa menjadi role model untuk hidup sehat dengan cara berolahraga dan membuat orang mau bergerak. Orang Indonesia itu cenderung untuk sedentary atau malas bergerak. Padahal bergerak itu wajib minimal 10.000 langkah per hari atau 3 km per jam. Ia juga mengaku stres jika tidak olahraga dalam sehari. Untuk perawatan kecantikan, ia mengaku tidak memerlukan perawatan seperti suntikan filler dan botox agar bisa tampil cantik dan awet muda.
“Saya pernah gemuk waktu kuliah. Berat saya sampai 69 kg. Pembimbing saya sempat bilang, kalau kamu mau tesis, kamu harus turunkan berat badan. Jangan sampai nanti antara mahasiswa dan dosen, masih lebih segar dosennya. Yang saya lakukan hanya diet dan olahraga. Dan, berhasil. Jadi jika ingin menurunkan berat badan tidak perlu harus mahal, cukup dibutuhkan komitmen yang kuat dan lakukan gaya hidup sehat setiap hari,” katanya sambil tertawa.
sumber : https://www.aestheticplusonline.com/2018/08/30/masyarakat-indonesia-kini-lebih-peduli-gizi/, akses tgl 12/11/2019.
Post A Comment: