TAHU gembos, kuah kecap, cabe rawit, bawang merah dan gula merah dimasak dalam satu piring gerabah. Dialah tahu gejrot. Salah satu makanan khas Cirebon ini memang memiliki aroma dan citarasa tersendiri, selain murah meriah, mudah dibuat, dan praktis dalam penyajian. Kekhasan makanan tradisional ini tidak hanya terletak pada bahan dan pelengkap sajiannya, juga wadah dan alat santapnya yang benar-benar alami, yaitu dengan menggunakan biting (tusuk kecil terbuat dari bambu atau kayu).


Meskipun sudah banyak orang mengenal dan menikmati sajian tahu gejrot, tetapi mungkin sedikit di antaranya yang mengetahui asal muasal tahu gejrot itu sendiri.

Dari hasil pengumpulan data penulisan, terungkaplah bahwa dapur-dapur produksi (pabrik tahu gejrot) awalnya berlokasi di Desa Jatiseeng Kecamatan Ciledug Kabupaten Cirebon. Keterampilan boga ini bahkan berlangsung sejak zaman prakemerdekaan. Hingga kini dapur-dapur pembuatan tahu gejrot yang letaknya di tengah perkampungan itu tetap lestari dan berkembang secara tradisional pula.

Setidaknya, di Jatiseeng (Desa pelopor pembuatan tahu gejrot) terdapat enam pabrik tahu gejrot yang tetap eksis hanya memproduksi tahu gejrot, tanpa diversifikasi (pengembangan) produk lain dari bahan baku sejenis. Hal inipun diteruskan secara turun temurun. “Dan ada tahun 2001 memasuki generasi ke-3,” kata Dulhamid, 69, jawara tahu gejrot dari Jatiseeng Ciledug.

“Dahulu, pemilik pabrik tahu gejrot adalah orang-orang keturunan Cina. Maklum situasi keamanan dan ekonomi sebelum tahun 1950 masih morat- marit, mengharuskan penduduk pribumi bekerja apa saja, termasuk beburuh membuat tahu gejrot. Bahkan banyak pula yang turut memasarkannya dengan mider (keliling) kampung. Ketika situasi ekonomi dan politik mulai membaik, toke-toke yang memang bermodal tebal mulai meninggalkan usaha pertahugejrotan memilih lahan usaha lain di kota-kota yang menjanjikan keuntungan lebih besar dan prospek menjanjikan.

Sesungguhnya, penduduk pribumilah yang ahli dalam pembuatan tahu gejrot, lantaran praktik langsung di pabrik-pabrik milik orang Cina selama bertahun-tahun. Tak heran saat toke-nya banting setir pada bidang usaha kelas kakap, dengan peralatan tradisional dan modal ala kadarnya, beberapa mantan buruh pabrik tahu manggung sendiri. Sejak saat itulah keberadaan tahu gejrot dilestarikan dan dikembangkan pendistribusiannya hingga kewentar di mana-mana.

Bahan baku tahu gejrot, yaitu kacang kedelai koni (putih). Cara membuatnya amat praktis dan gampang dipraktikan. Kacang kedelai terlebih dahulu direndam dalam air kurang-lebih selama lima jam. Kemudian digiling (baik menggunakan mesin giling atau alat giling tradisional) untuk diambil aci-nya. Aci yang berupa cairan kental dari sari kedelai itu dimasak, lalu disaring. Langkah selanjutnya, dari hasil saringan dihamparkan pada bak datar bertepi penghalang dan berbentuk persegi, lalu dipres hingga benar-benar berwujud adonan beku berwarna putih. Mulailah dibentuk dengan cara menggaris potong dengan ukuran sama. Perlu diingat bahwa dalam proses pembuatannya tanpa dibubuhi garam atau bumbu lain. Setelah itu ditiriskan, dan siap digoreng.

Sedangkan cara pemasaran tahu gejrot hingga sekarang masih berkesan sederhana dan tradisional. Para pengecer atau pedagang keliling datang sendiri mengambil ngalap-nyaur di pabrik. Yang jelas tahu gejrot yang dibuat tanpa bahan campuran bisa bertahan tiga hari tidak basi. Selain itu, limbah tahu gejrot banyak diperlukan untuk makanan ternak atau didaur ulang menjadi makanan ringan atau lauk pauk.

Di Desa Jatiseeng, dalam sehari satu pabrik rata-rata menghabiskan satu kuintal kacang kedelai. Dengan skala produksi untuk tiga kilogram kacang kedelai mampu menghasilkan 600 butir tahu, sedangkan harga jual ke pengecer Rp 45,00 per butir tahu.

Yang perlu disiasati bagi pembuat tahu gejrot yaitu musim dan cuaca. Sebab kedua faktor itu merupakan hambatan pemasaran yang cenderung mengimbas pada aktivitas produksi. Biasanya musim hujan pemasaran berkurang. Maklum tahu gejrot lebih nikmat disantap dalam cuaca cerah.

Sajian

Bumbu yang diperlukan : bawang merah, cabe (rawit), garam, penyedap rasa (jika diperlukan), dan air gula merah.

Cara meramunya : dalam porsi tertentu sesuai dengan selera, cabe rawit, bawang merah, dan garam digerus agak kasar pada cobek (terbuat dari tanah liat), kemudian campurkan air gula merah. Pada cobek lain siapkan tahu yang sudah dipotong-potong. Siramkan campuran bumbu tadi. Dan siap disantap dengan menggunakan biting sebagai garpunya. Cobek sebagai wadah sajian, memberikan kekhasan aroma dan rasa tersendiri.


Asal muasal

Populer dengan sebutan tahu gejrot, bermula dari kepraktisan para pengecernya. Dengan keranjang khusus dan dipikul, para pedagang sudah menyediakan air gula merah dalam wadah gendul (botol). Sedangkan bumbu-bumbu lainnya biasa digerus mendadak. Tentu saja air gula merah yang encer dalam botol berlubang kecil jika dikucurkan harus dengan jalan dihentak/digejrotkan, dan menimbulkan bunyi jrot-jrot-jrot. Lantaran yang digejrot tahu, maka latah orang menyebutnya tahu gejrot (=tahu yang digejrot), hingga sekarang nama makanan khas Cirebon itu tetap lekat di hati masyarakat.

Tahu gejrot ternyata tidak hanya digemari oleh orang-orang desa. Di kota-kota besar pun banyak yang ketagihan makanan tradisional ini. Bahkan ada beberapa restoran yang menyediakan sajian tahu gejrot. Pada perkembangan sekarang, tahu gejrot tidak hanya dihasilkan/diproduksi dari Desa Jatiseeng. Di Jakarta, Bandung, Tegal, dan kota-kota lain bermunculan pabrik-pabrik tahu gejrot, yang ternyata dimotori oleh orang-orang Jatiseeng (Cirebon) yang merupakan daerah asal makanan tradisional tahu gejrot.

Saat maraknya tawaran beragam makanan mewah, baik dari dalam maupun dari luar negeri, tahu gejrot hingga kini tetap diminati sebagai makanan/jajanan sederhana yang tanpa campuran zat kimia.(NMN)

sumber : 
- http://www.kabar-cirebon.com/read/2015/08/tahu-gejrot-berawal-dari-jatiseeng /
- http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/stcontent.php?id=148&lang=id, akses tgl 31/10/2019.

Axact

PERSAGI Bandung

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment: