Permasalahan gizi berdampak serius pada pengembangan SDM Indonesia.


Salah satu permasalahan gizi yang dihadapi saat ini yaitu stunting (anak balita pendek). Stunting bisa dikatakan masalah gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi. Pemberian asupan gizi yang kurang itu berlangsung cukup lama, sebagai akibat dari pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi anak.

Indonesia menjadi negara dengan prevalensi gizi kurang pada balita yang cukup tinggi. Peneliti S2 Kesehatan Masyarakat UGM, Awaludin merujuk pada Pemantauan Status Gizi tahun 2010, menyebut bahwa prevelansi stunting di Indonesia mencapai 35,6 persen dan pada 2013 mencapai 37,2 persen. Kemudian Hasil Riskesdes pada 2013 prevalensi stunting mencapai 37,2 persen.

Sementara riset Bank Dunia menggambarkan kerugian akibat stunting 3-11 persen dari PDB. Dengan nilai PDB pada 2015 sebesar Rp11.000 Triliun, kerugian ekonomi Indonesia akibat stunting Rp1.210 Triliun per tahun.

Menurut Awaludin, stunting pada anak-anak di Indonesia menyerang 30 persen anak-anak usia balita. Untuk itu, Awaludin melakukan analisis literatur terkait permasalahan stunting di Indonesia dan menawarkan solusinya.

Dia kemudian memaparkan analisisnya dalam penelitian berjudul Analisis Bagaimana Mengatasi Permasalahan Stunting Di Indonesia? tahun 2019.

Dalam penelitiannya, Awaludin mengungkap bahwa munculnya stunting disebabkan oleh faktor yang multi dimensi, di antaranya: Pertama, praktik pengasuhan yang tidak baik. Seperti kurangnya pengetahuan tentang gizi dan kesehatan sebelum dan pada masa kehamilan.

Sementara itu, 60 persen dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan ASI eksklusif, dan usia 0-24 bulan tidak menerima makanan pengganti ASI.

Kedua, terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ante natal care (anc), serta pos natal dan pembelajaran dini yang berkualitas.

Misalnya, ibu hamil belum mengkonsumsi suplemen zat besi yang memadai, mulai jarang anak ikut posyandu, dan masyarakat tidak mendapat akses memadai ke layanan imunisasi.

Ketiga, kurangnya akses ke makanan bergizi, karena ibu hamil anemia dan makanan bergizi tergolong mahal, sehingga ibu hamil mengalami anemia.

Keempat, sulitnya akses air bersih dan sanitasi. Hal ini terlihat dari masyarakat yang masih BAB di ruang terbuka dan rumah tangga yang belum bisa mengakses air minum bersih.

Awaludin menyarankan agar dana desa yang didapat dari pemerintah dimanfaatkan untuk mengembangkan kebun gizi.

“Lewat peraturan yang dikeluarkan tersebut, Warga Desa bisa terlibat aktif menghadirkan aneka kegiatan yang berhubungan dengan upaya penanganan stunting yang berfokus pada kebun gizi pada tiap desa dengan pendekatan keluarga,”jelas Awaludin.

Kehadiran Dana Desa nantinya tidak hanya fokus pada Pondok Bersalin Desa (Polindes) maupun Posyandu. Tetapi, fokus pada pembentukan kebun gizi dengan pendekatan keluarga yang berbasis pemberdayaan masyarakat, sehingga edukasi mengenai gizi bisa dilakukan.

Selanjutnya, Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013, kata Awaludin, harus disikapi dengan koordinasi yang kuat di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga ke pelaksana ujung tombak. “Diseminasi informasi dan advokasi perlu dilakukan oleh unit teknis kepada stake holders lintas sektor dan pemangku kepentingan lain pada tingkatan yang sama. Sehingga Dibutuhkan upaya yang bersifat holistik dan saling terintegrasi,” tulisnya.

Selanjutnya, pihaknya memandang perlu mendorong Kebijakan Akses Pangan Bergizi, serta akses air bersih dan sanitasi. Lalu, adanya pengawasan dan evaluasi secara berkala juga perlu dilakukan.

“Terakhir, memperkuat surveilens gizi masyarakat. Dengan cara ini, permasalahan gizi di masyarakat bisa dideteksi secara dini,” tulisnya. (Kinanthi)

sumber : http://kagama.co/sebuah-penelitian-ungkap-solusi-atasi-stunting-di-indonesia, akses tgl 29/04/2020.
Axact

PERSAGI Bandung

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment: