Literasi gizi yang buruk membuat pemenuhan gizi seimbang di masyarakat menjadi rendah. Hal ini menyebabkan persoalan gizi di Indonesia sangat tinggi.
Persoalan malnutrisi yang tinggi di Indonesia disebabkan oleh rendahnya literasi gizi di masyarakat. Karena itu, edukasi terkait konsumsi gizi yang seimbang perlu diperluas secara merata di masyarakat sampai ke wilayah pelosok Indonesia.
Ketua Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (Kopmas) Rusmarni Roesli menyampaikan, Indonesia mengalami beban ganda gizi yang cukup tinggi. Selain banyak masyarakat yang menderita kekurangan gizi, jumlah masyarakat yang mengalami obesitas juga tinggi.
“Edukasi soal gizi di masyarakat masih rendah. Itu menyebabkan asupan makanan dan minuman menjadi tidak baik. Banyak warga lebih banyak mengonsumsi makanan instan dan makanan dengan kadar gula, garam, lemak yang tinggi,” tuturnya, di Jakarta, Jumat (18/6/2021).
Dalam survei lapangan yang dilakukan oleh Kopmas di sejumlah daerah, tidak sedikit orangtua yang hanya memberikan makanan anaknya dengan pangan yang tinggi karbohidrat namun minim protein. Selain itu, masih banyak juga yang menjadikan produk kental manis sebagai minuman pengganti susu. Padahal, produk kental manis bukan susu yang justru mengandung kadar gula yang tinggi.
Karena itu, Rusmarni menuturkan, edukasi dan sosialisasi mengenai gizi seimbang perlu ditingkatkan. Edukasi itu juga harus disampaikan secara luas hingga ke pelosok negeri. Pendekatan dengan budaya setempat pun dinilai lebih efektif dilakukan agar masyarakat bisa lebih mudah menerima sosialisasi yang disampaikan.
Menurut dia, tengkes (stunting) atau gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis terjadi akibat rendahnya literasi gizi masyarakat. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi tengkes di masyarakat mencapai 37,2 persen. Itu menurun menjadi 30,8 persen pada 2018 dan 27,6 persen pada 2019. Sekalipun menurun, angka ini masih sangat besar karena artinya satu dari tiga anak mengalami tengkes.
Rusmarni menyampaikan, tengkes menimbulkan dampak buruk jangka pendek maupun jangka panjang. Anak dengan tengkes lebih berpotensi mengalami kematian daripada anak yang tidak memiliki tengkes. Selain itu, tengkes bisa menurunkan tingkat intelijensia atau kecerdasan (IQ) sampai 11 poin. Produktivitas di masa depan juga akan menurun. Orang dewasa yang mengalami tengkes akan berpendapatan lebih rendah 22 persen dibanding yang tidak mengalami tengkes.
“Secara ekonomi, kondisi tengkes berkontribusi terhadap kerugian PDB (produk domestik bruto) negara sampai 3 persen di Indonesia,” ucapnya.
Peran keluarga
Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Entos Zainal menyampaikan, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi persoalan tengkes di masyarakat. Upaya itu terutama dengan memperkuat peran keluarga melalui program Puspaga (pusat pembelajaran keluarga).
Keluarga merupakan bagian terpenting dalam upaya pemenuhan gizi dan nutrisi anak. Melalui program Puspaga, edukasi dan pembelajaran akan diberikan untuk meningkatkan kualitas kehidupan keluarga. Saat ini setidaknya sudah ada 187 Puspaga yang terbentuk di 171 kabupaten/ kota di 12 provinsi.
Direktur Informasi dan Komunikasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Kementerian Komunikasi dan Informatika Wiryanta menambahkan, kerja sama dengan berbagai pihak telah dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pemenuhan gizi seimbang. Harapannya, masyarakat bisa mengubah perilaku jadi lebih sehat sehingga bisa mencegah terjadinya tengkes.
“Kominfo juga menjalankan diseminasi dengan melakukan kampanye yang melibatkan masyarakat untuk mencegah stunting. Ini dilakukan bersama-sama, terutama pada generasi muda dan perempuan,” tuturnya.
sumber : https://www.kompas.id/baca/humaniora/kesehatan/2018/10/13/membangun-literasi-gizi-masyarakat/, akses tgl 03/02/2022.
Post A Comment: