Bangsa kita baru mengenal minuman dingin sekitar tahun 1840an ketika es batu diimpor pertama kalinya dari Boston, Amerika Serikat. Kristal ajaib itu bagai menyihir rakyat hingga terkagum-kagum.
Berburu minuman dingin hingga menambahkan es ke dalamnya merupakan hal lumrah yang dilakukan oleh sebagian orang saat cuaca panas. Bagi mereka, cara ini ampuh untuk menyegarkan dahaga sekaligus menikmati sensasi dingin. Kini, minuman dingin dengan es adalah kenikmatan merakyat yg lumrah. Padahal, jauh sebelumnya, es sempat menduduki kasta istimewa dalam kehidupan masyarakat dan para bangsawan di zaman kolonial. Selain pelengkap minuman, eksistensinya dibutuhkan untuk keperluan pengawetan makanan hingga medis.
Salah satu kenangan yang masih melekat dalam memori masa kecil banyak orang bisa jadi adalah ketika diminta orangtua untuk membeli es ke warung. Begini kira-kira perintahnya, ”Dik, beli es batu di warung, ya. Nih, Rp 2.000, sisanya buat beli permen.” Kala itu, penuhnya ruang freezer dengan berbagai lauk dan makanan beku membuat tak ada lagi ruang untuk menyimpan es. Maklum, wujudnya memang memakan tempat. Solusinya, beli saja di warung. Harganya pun terjangkau. Bahkan, kini, es batu bisa dibeli secara daring melalui situs jual-beli daring.
Pada zaman modern, es batu memang mudah didapatkan dengan harga murah. Berbeda dengan kondisi pertengahan abad ke-19 yang masih minim teknologi. Saat itu, es menjadi komoditas impor di Indonesia yang bernilai tinggi dan diburu sejumlah kalangan. Bagaimana es batu bisa sampai ke Indonesia?
Kedatangan es pertama kali ke Indonesia cukup menggemparkan, mulai dari kehebohan masyarakat hingga petugas bea cukai yang belum menyiapkan regulasi khusus. Dikutip dari arsip Kompas, sebuah catatan dari surat kabar Javasche Courant pada 18 November 1846 mengabarkan, ada sebuah kapal besar dari Boston, Amerika, yang bersandar di Batavia pada 17 November 1846, dengan membawa muatan es batu pesanan Roselie end Co. Sebutan lain muatan ini adalah ”batu putih yang sejernih kristal dan kalau dipegang bisa membuat tangan menjadi kaku”.
Penjual es loli keliling di daerah Jawa, di era Hindia Belanda, sekitar tahun 1930. (KITLV) |
Pada tajuk rencana surat kabar itu, dijelaskan lebih jauh cara menyimpan es, yakni menyelimuti permukaannya dengan selimut wol. Cara ini dinilai efektif untuk membuat es bertahan lebih kurang 22 jam. Dari segi ekonomi, es menjadi komoditas dagang yang diminati dengan harga yang bervariatif, mulai dari 10 sen hingga 25 gulden.
Pemanfaatan yang utama sebagai pendingin minuman (beralkohol), hidangan pencuci mulut (dessert), dan konsumsi air es untuk pesta-pesta. Di sisi lain, es dipergunakan untuk keperluan medis. Pemerintah Hindia Belanda mengimpor es dari Amerika Serikat hingga tahun 1870 (Kompas, 19/6/1972).
Pabrik Es Tempo Doeloe
Pembuatan es berkembang pesat di Amerika, tetapi awalnya dirintis oleh bangsa Eropa. Buku The Ice Cream Book (2012) mencatat, pada abad ke-17, pembuatan es diketahui dari keberadaan rumah pendingin (ice houses) yang didirikan di sekitar danau atau sungai yang aliran airnya menjadi beku saat musim dingin. Bongkahan air yang beku dikumpulkan dengan cara dipotong-potong dalam berbagai ukuran. Untuk mempertahankan suhunya, lapisan pertama dibalut dengan taburan garam. Selanjutnya, lapisan terluar dibalut dengan jerami dan serbuk gergaji.
Di Eropa, rumah pendingin juga menjadi simbol status sebuah keluarga. Es yang dibuat dari air bersih digunakan untuk hidangan penutup (dessert) dan minuman. Jika dari bahan sebaliknya, es akan dihancurkan dan dicampur dengan ammonium chloride, sodium chloride, atau potassium nitrate untuk menurunkan titik beku sebelum dipakai untuk pendingin minuman atau es krim.
Di negeri tropis, es merupakan instrumen ”kenyamanan” yang sudah semestinya ada, seperti dikatakan Prof Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya Jaringan Asia (2005). Akan tetapi, es hanya dinikmati oleh kaum menengah ke atas. Misalnya, sekitar tahun 1869, keluarga-keluarga kaya di Batavia menjadikannya sebagai air minum. Disebutkan demikian, ”Mereka hanya minum air yang berasal dari es yang mencair dan didatangkan dari Boston”. Entah karena faktor selera atau masalah sanitasi.
"Akan tetapi, es hanya dinikmati oleh kaum menengah ke atas."
Kehadiran es berkembang cukup pesat setelah ditemukannya prosedur pembuatan amonia sebagai bagian dari teknologi pendinginan di Eropa sekitar akhir tahun 1880. Teknologi ini juga menyebar hingga ke Indonesia sehingga makin banyak pabrik es yang didirikan di kota besar. Sejalan dengan itu, kebiasaan minum minuman dingin pun kian digemari.
Dikisahkan, pada akhir abad ke-19, seorang pengelana Perancis, Delmas, singgah ke Batavia untuk menikmati segelas besar sidre-syampanye, minuman yang dibuat dari buah-buahan lokal negeri, es, dan soda. Dalam catatan Chailley Bert, disebutkan secara hiperbola, mereka bisa menjumpai es di mana saja, dari ujung ke ujung Pulau Jawa, sampai ke gunung, bahkan sampai ke desa.
Kala itu, mayoritas perusahaan es batu dimiliki oleh bangsa Eropa. Perlahan, bangsa China mulai mengadaptasi usaha jenis tersebut, satu di antaranya adalah pengusaha dari Semarang bernama Kwa Wan Hong. Ia merupakan pengusaha sukses yang terjun di pabrik pembuatan limun, kayu, percetakan, hingga es. Usahanya justru bersinar di bidang es. Semula, hanya ada tiga pabrik es yang didirikan, yakni Tegal, Pekalongan, dan Semarang. Kemudian, menyusul didirikannya pabrik di Surabaya dan Pasar Turi.
Penggunaan es di Nusantara
Pengamat sejarah kuliner Nusantara dari Universitas Padjadjaran, Fadly Rahman, menjelaskan, pada masa awal kehadiran es di Batavia, penikmatnya didominasi oleh kaum kelas atas, yakni para bangsawan dan priayi. Mereka mencampurkannya ke dalam minuman alkohol, limun, atau sirup. Dulu minuman tradisional Nusantara, baik yang beralkohol maupun tidak (cendol atau kolang-kaling), belum menggunakan tambahan es, hanya dikonsumsi polosan.
Ternyata sensasi dingin dari es memberikan efek menyegarkan yang disukai sehingga minuman dingin kian diminati oleh masyarakat. Bahkan, penggunaan es masuk dalam resep aneka jenis rasa minuman dingin di buku masakan zaman kolonial. Seperti dicontohkan Fadly dalam buku Indisch Kookboek Door Eene Indische Dame karangan Geertruida Gerardina Gallas Haak-Bastiaanse, yang diterbitkan tahun 1872. Ada 13 resep aneka es krim dengan beragam buah-buahan dan rempah. Pada bagian instruksi tahap akhir akan diminta untuk memasukkan adonan ke dalam kaleng untuk dibekukan menggunakan es.
"Bahkan, penggunaan es masuk dalam resep aneka jenis rasa minuman dingin di buku masakan zaman kolonial"
Tak sedikit pabrik es yang bermunculan di Pulau Jawa. Eksistensinya kian bergaung melalui iklan-iklan di surat kabar. Artinya, pabrik dan agen es berani bayar mahal pemasangan iklan karena memang produknya laris dan diminati. Fadly mencontohkan, salah satu pabrik es, limun, dan sirup yang beken kala itu adalah ”Petodjo”. Pabrik ini mengiklankan produknya pada beberapa surat kabar, salah satunya dimuat dalam Bataviaasch Neuwsblad pada 29 Januari 1928. Seiring dengan berjalannya waktu, pabrik-pabrik es banyak berdiri di Surabaya sehingga dibentuk organisasi penjual es atau Soerabaische Ijs Verkoop Organisatie.
Selain pelengkap minuman, es digunakan untuk pengawetan makanan. Jauh sebelumnya, masyarakat memanfaatkan aneka rempah-rempah untuk dibalurkan pada permukaan bahan, antara lain cengkeh, pala, kayu manis, dan garam. Selanjutnya, bahan itu digantungkan agar air yang terkandung di dalamnya berkurang. Pembaluran rempah bertujuan untuk mencegah tumbuhnya mikrobia pembusuk. Sebab, daging dan ikan rentan mengalami pembusukan jika tak diolah segera.
Reputasi kegunaan rempah sebagai bahan pengawet kian mendorong peningkatan ekspor rempah dalam negeri. Sama seperti di Indonesia, negara lain memanfaatkan rempah untuk campuran bumbu masakan dan pengawetan bahan makanan pada musim panas. Pada musim dingin, mereka menimbun es untuk mendinginkan produk makanan. Akan tetapi, pada akhir abad ke-18, esksistensi rempah tak semenawan dulu. Teknologi pendinginan yang dikenalkan oleh Amerika menggantikan fungsinya. Es dianggap lebih efektif untuk memperpanjang masa simpan bahan pangan.
Es Batu Kini
Dahulu, balok es dijual keliling dari rumah ke rumah. Pendistribusiannya dilakukan oleh agen-agen di tingkat kota hingga ke daerah terpencil. Para penjual keliling menyimpan balok es di dalam peti kedap udara agar tidak cepat mencair. Konon, es tak sempat mencair karena cepat habis terjual.
Es digunakan pula di medan perang untuk menghentikan pendarahan dan mengompres prajurit yang terluka. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan es di kantong-kantong militer, para pemasok akan dihargai mahal karena mereka harus mengantarnya ke lokasi yang cukup terpencil.
Es Gosok seharga Rp 500 dengan warna yang mencolok menarik perhatian anak-anak sekitar Kampung Melayu Kecil, Jakarta Selatan Selasa (13/11/2007). |
Sejumlah orang pasti pernah membuang kepingan es yang tersaji dalam minuman dengan dalih ”kebanyakan” atau ”dingin banget”. Padahal, dahulu es pernah menjadi komoditas mahal. Betapa es sangat berharga dan dibutuhkan dalam kehidupan di masa lalu. Jadi, daripada membuang es, lebih baik bilang di awal kepada Si Abang penjual minuman, ”Esnya sedikit saja ya, Bang.” Bukan apa-apa, supaya tak mubazir..
FOTO : P Raditya Mahendra Yasa, Heru Sri Kumoro, Widi Krastawan, M Hilmi Faiq, Adrian Fajriansyah, Albertus Hendriyo Widi
sumber : https://interaktif.kompas.id/baca/es-batu-kristal-beku-yang-pernah-mewah/?utm_source=newsletter&utm_medium=mailchimp_email&utm_content=multimedia_image1_siang_ru_20220108&utm_campaign=konten-akhirpekan_20220108, akses tgl 11/02/2022.
Post A Comment: