Sengkarut persoalan minyak goreng turut menghadirkan sejumlah wajah kemanusiaan kita. Mulai dari yang tulus berbagi, peduli kesehatan masyarakat kecil, hingga ”homo homini lupus”.


Pedagang dan wong cilik seperti tak punya pilihan. Demi mendapat minyak goreng murah, mereka rela antre panjang tak berjarak di tengah lonjakan kasus Covid-19. Pandemi tak digubris tatkala ”perut sudah berbunyi”.

Operasi pasar minyak goreng curah di Pasar Tambahrejo, Kota Surabaya, Jawa Timur, pada 18 Februari 2022, misalnya. Para pedagang pasar dan warga antre mengular tak berjarak di samping tumpukan jeriken demi mendapat minyak goreng curah Rp 10.500 per liter.

Hal serupa juga terjadi saat operasi pasar di Pasar Alang-alang Lebar, Palembang, Sumatera Selatan, pada 12 Februari 2022. Demi mendapatkan minyak goreng kemasan seharga Rp 14.000 per liter, puluhan warga berbaris berjejalan. Ada yang tertib mengenakan masker, ada juga membiarkan posisi maskernya tak menutupi hidung.

Memang ada yang menggelar operasi pasar dengan tertib mengikuti protokol kesehatan. Ada yang menjaga jarak antrean meski calon pembeli tetap berdiri. Ada juga yang lebih manusiawi, dengan menyiapkan tempat duduk yang ditata berjarak.

Operasi pasar yang belakangan ini masif digelar terjadi di tengah lonjakan kasus Covid-19 dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 3. Pada 16 Februari 2022, kasus harian Covid-19 mencetak rekor tertinggi, yaitu sebanyak 64.718 kasus. Jumlah itu melampaui rekor tertinggi kasus Delta, yaitu 56.757 kasus pada 15 Juli 2021. Peningkatan kasus mingguan Covid-19 mencapai 68 persen dibandingkan sebelum penyebaran varian Omicron.

"Pandemi tak digubris tatkala perut sudah berbunyi."


Memang Omicron tidak semematikan Delta. Memang pemerintah telah meminta masyarakat tidak perlu resah, bahkan mempersilakan jalan-jalan asal sudah vaksin lengkap atau mendapat vaksin penguat (booster). Namun, kalau tertular, pasti akan keluar biaya besar juga.

Di tengah daya beli dan usaha yang belum sepenuhnya pulih, keinginan masyarakat mendapat bahan kebutuhan pokok murah memang lebih besar. Bagi pedagang, yang penting mereka punya minyak goreng murah yang dapat dijual lagi ke konsumen dengan harga terjangkau. Bagi pelaku usaha kecil, mereka membutuhkan minyak goreng murah sebagai bahan penolong menjaga keberlanjutan usaha.

Entah sadar atau tidak, keuntungan dari penjualan minyak goreng atau makanan yang menggunakan minyak itu selama sebulan belum tentu dapat menutup biaya pengobatan Covid-19. Disadari atau tidak, jika mereka terjangkit Covid-19, terutama Omicron, mereka bakal tidak bisa berdagang optimal. Bahkan, ada yang menutup lapak atau kios dan tak bisa berkeliling menjajakan produknya sehingga tak punya pemasukan.

Bagi rumah tangga miskin, membeli minyak goreng dengan selisih harga Rp 3.000 per liter hingga Rp 8.500 per liter dari harga pasar yang tinggi dapat menghemat pendapatan.

Bagi rumah tangga miskin, membeli minyak goreng dengan selisih harga Rp 3.000 per liter hingga Rp 8.500 per liter dari harga pasar yang tinggi dapat menghemat pendapatan. Uang selisih pembelian itu bisa digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lain di luar minyak goreng.

Total selisih pembelian itu dalam sebulan belum tentu dapat menutup biaya pongabatan Covid-19. Namun, mau bagaimana lagi, mereka butuh hidup hari ini. Mereka butuh minyak goreng murah di tengah penghasilan yang belum sepenuhnya pulih.

Potret manusia

Di tengah ”pertarungan” mereka mendapatkan minyak goreng murah, banyak juga yang ingin mengambil untung. Di hilir, ada yang membeli minyak goreng setiap hari, dikumpulkan, dan dijual kembali melebihi harga eceran tertinggi (HET) melalui media sosial atau lokapasar. Ada juga yang menimbun minyak goreng demi kepentingan sendiri.

Sampai muncul kasus penipuan minyak goreng yang menimpa dua pelaku usaha kecil di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Alih-alih ingin mendapat minyak goreng curah murah untuk menjaga keberlanjutan usaha kerupuk, mereka justru memperoleh jeriken-jeriken berisi air.

Di hulu, ada indikasi mencari untung besar dengan memilih mengekspor minyak sawit mentah (CPO) dan olein. Kecenderungan ini terjadi lantaran harga CPO tengah melambung tinggi. Kementerian Perdagangan bahkan khawatir ada yang membeli minyak goreng untuk dicampur dengan minyak jelantah yang diekspor.

Tak heran jika setelah sejumlah kebijakan yang bergulir tak mempan mengatasi kelangkaan dan harga, Kementerian Perdagangan menerapkan kebijakan kewajiban memasok kebutuhan pasar dalam negeri (domestic market obligation/DMO). Bersamaan dengan itu, HET baru minyak goreng curah Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng premium Rp 14.000 per liter diterapkan.

Di tengah kondisi terdesak atau di saat melihat prospek keuntungan, wajah kemanusiaan kita muncul. Ada yang benar-benar tulus berbagi. Ada juga yang menjadi serigala bagi sesamanya, homo homini lupus.

Di tengah kondisi terdesak atau di saat melihat prospek keuntungan, wajah kemanusiaan kita muncul. Ada yang benar-benar tulus mau berbagi beban atau sharing the pain. Ada juga yang peduli mengatur operasi pasar minyak goreng di tengah lonjakan kasus Covid-19 dengan disiplin protokol kesehatan.

Namun, ada juga yang menjadi serigala bagi sesamanya, homo homini lupus. Ini baru kisah dan rupa-rupa wajah manusia di tengah sengkarut persoalan minyak goreng. Mungkin hal serupa juga terjadi di persoalan-persoalan ekonomi lainnya. Siapa tahu. Namanya juga manusia.


Oleh: HENDRIYO WIDI
sumber : https://www.kompas.id/baca/kolom/2022/02/22/minyak-goreng-dan-wajah-kemanusiaan-kita, akses tgl 26/02/2022.

Axact

PERSAGI Bandung

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment: