Jika obesitas diakui sebagai penyakit, penanganan obesitas sangat dimungkinkan untuk dilakukan secara komprehensif melalui upaya preventif sampai kuratif.


Menetapkan obesitas sebagai penyakit dapat memberikan keuntungan bagi penderita gangguan metabolisme tersebut. Strategi yang dijalankan untuk mengurangi angka obesitas di masyarakat juga lebih terencana, mulai dari upaya promotif, preventif, kuratif, hingga rehabilitatif.

Hal itu disampaikan oleh Aryono Hendarto dalam pidato pada upacara pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Sabtu (13/2/2021), di Jakarta. Selain Aryono, terdapat tiga Guru Besar Fakultas Kedokteran UI lain yang juga dikukuhkan, yakni Widjajalaksmi Kusumaningsih, Toar Jean Maurice Lalisang, dan Ratnawati.

Aryono mengatakan, sejumlah pendapat menyatakan, obesitas bukan merupakan penyakit karena dianggap mewakili adaptasi biologis yang diperlukan dan kadang dikaitkan dengan hasil kesehatan yang lebih baik. Ada pula yang menyampaikan, beberapa individu dengan obesitas tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit atau gejala klinis. Jika seseorang mengalami obesitas, tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan organ, obesitas tidak akan memenuhi konsep penyakit secara naturalistik

Meski begitu, ia berpendapat, menetapkan obesitas sebagai penyakit membawa berbagai implikasi baik terhadap kebijakan ataupun pelayanan kesehatan. Jika obesitas diakui sebagai penyakit, penanganan obesitas sangat dimungkinkan untuk dilakukan secara komprehensif melalui upaya preventif sampai kuratif. Selain itu, akses terhadap perawatan dan dukungan pendanaan menjadi lebih baik.

”Para tenaga medis yang menangani kasus obesitas pun akan mengacu pada model perawatan penyakit kronik yang sesuai untuk mengatasi komplikasi dan tantangan seumur hidup yang ditimbulkan akibat obesitas ini,” ujarnya.


Secara global, diperkirakan ada 150 juta anak usia 5-19 tahun yang mengalami obesitas. Di Indonesia, menurut Riset Kesehatan Dasar 2018, sebanyak 8 persen anak atau sekitar 9 juta anak mengalami kegemukan.

Ambang batas yang dipakai untuk menentukan obesitas pada anak berbeda-beda. Sejak tahun 2010, Amerika Serikat menggunakan nilai indeks massa tubuh (IMT) persentil 95 untuk mendefinisikan obesitas. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Inggris memakai presentil 98 sebagai batasan overweight.

Sementara Indonesia, dasar yang digunakan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dalam menentukan obesitas dan overweight pada anak usia di bawah dua tahun adalah grafik IMT dari WHO. Untuk anak usia lebih dari dua tahun, digunakan grafik IMT dari Center for Diseseas Control (CDC) Amerika Serikat 2000.

Aryono menyampaikan, obesitas perlu ditangani sebagai penyakit agar intervensi bisa dilakukan sejak dini. Obesitas memiliki dampak buruk yang bisa ditimbulkan, terutama jika sudah ditemukan pada usia anak. Sebuah studi juga menunjukkan bahwa obesitas pada anak meningkatkan risiko mortalitas saat dewasa muda sebanyak tiga kali lebih tinggi dibandingkan yang tidak.

Sebanyak 55 persen anak dengan obesitas tetap menjadi obesitas saat remaja. Keadaan obesitas tersebut bersifat persisten dari remaja hingga dewasa, yakni 80 persen remaja dengan obesitas akan tetap mengalami obesitas saat sudah dewasa dan 70 persen di antaranya menetap hingga usia lebih dari 30 tahun.

Pajanan gawai yang meningkat selama pandemi Covid-19 dapat berdampak pula pada keterlambatan bicara anak.

Ini berdampak pada risiko kematian atau mortalitas yang lebih tinggi pada individu yang memiliki riwayat obesitas pada masa anak-anaknya dibandingkan mereka yang dahulu non-obesitas. Upaya pencegahan perlu dilakukan karena berdasarkan tren yang diobservasi saat ini, pada 2025 diperkirakan akan ada 70 juta bayi dan anak- anak yang mengalami overweight dan obesitas.

”Mengingat obesitas pada anak dapat mengakibatkan komordibilitas yang mengancam generasi masa depan, harus dilakukan upaya pencegahan yang meliputi pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier. Program pencegahan obesitas anak selama masa pandemi Covid-19 juga diperlukan segera agar prevalensi obesitas tidak meningkat tajam,” ucap Aryono.

Menurut dia, pandemi Covid-19 telah mengubah perilaku keseharian anak. Sistem pembelajaran jarak jauh membuat aktivitas fisik anak berkurang. Bagi anak yang tinggal di lingkungan dengan ruangan terbatas, waktu bermain yang biasanya digunakan untuk beraktivitas fisik menjadi lebih banyak digunakan untuk bermain gawai dan menonton televisi.

Selain itu, perubahan juga terjadi pada pola makanan dan pola tidur. Padahal, itu yang dapat memicu terjadinya obesitas. Observasi gaya hidup anak di Italia selama karantina (lockdown) menghasilkan data, tidak ada perubahan asupan sayur, sedangkan konsumsi keripik kentang, daging merah, dan minuman manis meningkat secara signifikan. Waktu untuk berolahraga pun menurun 2,30 jam per minggu, waktu tidur bertambah 0,65 jam per hari, serta waktu di depan layar alias screen time meningkat 4,85 jam per hari.

”Pakar mengkhawatirkan, pandemi Covid ini akan menjadi pencetus timbulnya krisis obesitas anak secara global,” kata Aryono.

Dampak gawai

Dalam upacara terpisah, Hartono Gunardi yang juga dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menuturkan, pajanan gawai yang meningkat selama pandemi Covid-19 dapat berdampak pula pada keterlambatan bicara anak.

Selain itu, sejumlah penelitian melaporkan bahwa pajanan screen time pada usia dini dapat berisiko menyebabkaan gangguan interaksi dan perilaku, seperti autisme dan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD).

Karena itu, WHO tidak merekomendasikan penggunaan media digital (screen time) untuk anak usia kurang dari satu tahun. The American Academy of Pediatrics (AAP) juga tidak menganjurkan penggunaan screen time pada anak kurang dari 18 bulan kecuali untuk video chatting dengan orangtua yang ada di luar kota.

Sementara untuk anak usia 18-24 bulan, penggunaan screen time hanya untuk program belajar dengan dampingan orangtua. Untuk anak usia lebih dari dua tahun, screen time direkomendasikan satu jam per 15 hari dan hanya untuk program belajar berkualitas serta perlu pendampingan interaktif oleh orangtua.

”Pengalaman negatif, seperti kurangnya interaksi dengan orangtua, pajanan gawai (gadget) dalam bentuk screen time yang berlebihan, apalagi kekerasan ataupun penelantaran anak pada masa 1.000 HPK (hari pertama kehidupan), akan menimbulkan dampak negatif yang menetap,” kata Hartono.

Oleh: DEONISIA ARLINTA
sumber : https://www.kompas.id/baca/kesehatan/2021/02/13/obesitas-perlu-ditangani-sebagai-penyakit, akses tgl 04/02/2022.

Axact

PERSAGI Bandung

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment: