Sudah dua bulan terakhir Adi terpaksa menghentikan kebiasaannya menyantap nasi putih dan lauk pauk ketika jam makan tiba.
Adi terpaksa melakukannya lantaran hasil diagnosa dokter menyebutkan dirinya mengidap diabetes tipe 2.
"Padahal kegemaran saya adalah berwisata kuliner dan apapun makanannya, nasi putih selalu ada dalam menu. Sekarang, setelah saya divonis diabetes, saya harus mengubah total menu makanan, termasuk berhenti makan nasi putih," ujar Adi.
Selama beberapa pekan terakhir Adi dan istrinya bereksperimen. Mereka mencoba berbagai macam nasi, termasuk nasi dari beras merah yang disebut banyak orang memiliki kadar gula yang rendah.
Dalam masa pencarian itu, Adi mendapat saran dari dokternya untuk mencoba beras yang terbuat dari sagu.
"Ternyata saya baru tahu, beras sagu memiliki kadar gula yang sangat rendah sehingga cocok bagi pengidap diabetes seperti saya," katanya.
Setelah satu kali mencoba, Adi pun mantap untuk terus menyantap nasi yang terbuat dari beras sagu.
Indeks Glikemik
Beras sagu sejak 2014 dikembangkan oleh Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi (BPPT).
Eniya Listiani Dewi, yang menjabat Deputi BPPT Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi BPPT, menjelaskan beras sagu dipilih karena "mempunyai Indeks Glikemik yang paling rendah".
Indeks Glikemik adalah angka yang menunjukkan seberapa cepat karbohidrat suatu bahan diubah menjadi gula di dalam darah. Semakin tinggi IG, perubahan karbohidrat (pati) menjadi gula semakin cepat.
"Kalau kita makan nasi dari beras padi sebanyak 100 gram, dalam empat jam Indeks Glikemik-nya 80 sampai 90. Sedangkan kalau kita makan nasi dari beras sagu sebanyak 100 gram, dalam empat jam Indeks Glikemik-nya 25 sampai 30," kata Eniya kepada BBC Indonesia.
Khasiat beras sagu untuk menurunkan kadar gula darah telah dibuktikan terhadap mencit dalam uji laboratorium. Mencit yang mengidap diabetes, mengalami kerusakan kelenjar pankreas. Sedangkan mencit yang juga mengidap diabetes, namun diberi makan beras sagu, kelenjar pankreasnya utuh dan mampu memproduksi insulin.
Uji klinis
Uji beras sagu ini kemudian dilakukan terhadap manusia.
Hardaning Pranamuda, selaku direktur pusat teknologi agroindustri BPPT, mengatakan uji klinis bersama Universitas Gajah Mada dilakoni terhadap para relawan yang riskan mengidap diabetes dengan kadar glukosa darah puasa 100- 125 mg/dL dan kadar glukosa 2 jam 140-199 mg/dL.
Para relawan kemudian mengonsumsi nasi sagu setiap hari. Adapun lauknya bebas kecuali lauk yang mengandung karbohidrat seperti mi, perkedel, kerupuk dan sebagainya. Selanjutnya setiap minggu sampel darah mereka diambil untuk dianalisa kadar glukosa, kadar kolesterol, dan trigleseridanya.
"Ternyata kadar gula para relawan, setelah empat minggu mengonsumsi nasi dari beras sagu, menurun," kata Hardaning.
Glukosa darah puasa para relawan yang berjumlah 20 orang selama empat minggu menurun sebesar 10%, sedangkan kolesterolnya yang semula 212 mg/dL menjadi 200mg/dL dan trigleseridanya yang semula 160 mg/dL menjadi 131 mg/dL.
![]() |
Beras sagu hasil cetakan mesin extruder di Laboratorium Pengembangan Teknik Industri Agro & Biomedika milik BPPT di Serpong, Provinsi Banten. |
Cara pembuatan
Untuk mengetahui cara pembuatan beras sagu, saya bertolak ke Laboratorium Pengembangan Teknik Industri Agro & Biomedika milik BPPT di Serpong, Provinsi Banten.
Di sana, sagu yang sudah dijadikan tepung oleh bantuan mesin dicampur dengan air dan beras merah.
"Tujuannya, untuk mendapatkan tekstur yang mirip beras dari padi. Jika tidak demikian, sagu itu liat dan alot, sama sekali tidak menyerupai beras dari padi," kata Ambar Dwi Kusumawati, staf peneliti agroindustri BPPT.
Sifat sagu, lanjut Ambar, lebih lengket daripada nasi setelah direbus. Hal ini disebabkan tingkat amilopektin pada sagu lebih tinggi ketimbang amilosa. Amilosa dan amilopektin merupakan komponen penyusun pati atau tepung. Dalam masakan, amilosa memberi efek "keras" bagi pati atau tepung.
"Contoh gampangnya, nasi pera kadar amilosa-nya lebih tinggi sehingga sifat nasi pera cenderung keras ketika dikunyah. Nah, sagu kebalikannya, amilosa-nya rendah sehingga sangat kenyal," jelas Ambar.
Setelah tepung sagu dan beras merah dicampur, hasil campurannya mengalami proses pre-gelatinasi dengan cara dikukus. Dalam proses ini, sebagian dari tepung tersebut akan berwujud gumpalan-gumpalan seperti jel.
"Lalu, kita masukkan ke sebuah mesin bernama mesin extruder yang berfungsi mencetak wujud yang kita inginkan. Bisa berbentuk beras atau bahkan macaroni," kata Ambar.
Seusai diayak untuk membersihkan beras sagu dari kotoran, beras tersebut siap ditanak.
Akan tetapi, berbeda dengan cara menanak beras dari padi, beras sagu harus dimasukkan ke air mendidih di rice cooker.
"Airnya kita didihkan dulu di dalam rice cooker. Setelah mendidih, baru kita masukkan beras sagu. Sebab, sagu bukanlah materi yang secara alami terikat seperti beras padi. Beras sagu merupakan campuran tepung yang kita mampatkan. Jika beras sagu dimasak seperti beras padi, yaitu dengan memasukkannya ke dalam air dingin di rice cooker, beras sagu akan menyerap air dan tidak akan berbentuk nasi tapi seperti bubur," tutur Ambar.
Dampak jangka panjang
Dampak mengonsumsi beras sagu secara jangka panjang dirasakan Rochsismandoko, dokter spesialis penyakit dalam di Rumah Sakit Omni Alam Sutera, Provinsi Banten.
Rochsismandoko yang juga menjabat Sekjen Persatuan Diabetes Indonesia ini mengaku menyantap nasi dari beras sagu tidak membuat staminanya menurun.
"Secara stamina tidak menurun, tapi mengurangi berat badan. Dengan kuantitas yang sedikit, dia bisa menekan gula darah dan menahan penaikan berat badan. Itu menjanjikan sekali untuk pasien diabetes, terutama yang obesitas," ujarnya.
Meski demikian, Rochsismandoko menyoroti harga beras sagu yang masih diproduksi berskala laboratorium sehingga relatif mahal, yaitu Rp25 ribu untuk satu kantong berisi 600 gram. Selain itu, belum ada teknologi untuk membuat beras sagu secara murni tanpa terasa kenyal.
"Sebenarnya saya lebih suka beras sagu diciptakan murni dari sagu, tidak ada campuran. Namun, teknologi sekarang belum bisa menciptakan beras sagu yang murni, tapi tidak kenyal dan seperti lem. Karena itu, beras sagu dicampur dengan bahan makanan lain yang Indeks Glisemik-nya rendah juga sehingga menyerupai beras padi," kata Rochsismandoko.
Soal rasa, Rochsismandoko menyebut "itu sangat subyektif".
"Contohnya ada orang yang suka beras pulen, namun ada pula yang suka beras pera. Demikian juga beras sagu,"katanya.
Bagaimanapun, Rochsismandoko menegaskan beras sagu tidak akan banyak membantu pengidap diabetes jika yang bersangkutan tidak mengubah gaya hidup.
"Harus olah raga, kurangi makan yang manis-manis. Dalam satu piring, sumber karbohidratnya satu saja. Kalau makan nasi dari beras sagu, tapi pada piring yang sama ada mi, bihun, perkedel kentang, ya sama saja bohong," selorohnya.
sumber : https://www.bbc.com/indonesia/majalah-39251833, akses tgl 03/08/2022
Post A Comment: