Gangguan pertumbuhan linear atau dikenal dengan stunting merupakan salah satu masalah gizi pada anak dibawah lima (balita) yang menjadi perhatian dari berbagai kalangan. Hal tersebut karena pertumbuhan yang terganggu pada anak stunting bukan hanya pertumbuhan fisik saja tapi juga pertumbuhan otaknya. Stunting digambarkan sebagai status gizi dengan tinggi badan menurut umur yang kurang dari standar pertumbuhan balita normal. Secara awan masyarakat mengartikan stunting sebagai kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis terutama dalam 1000 hari pertama kehidupan. Sedangkan menurut Gibney, et al (2008) stunting merupakan keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek hingga melampaui defisit , yaitu kurang dari -2.0 standar deviasi, atau dibawah median panjang atau tinggi badan, yang mengakibatkan kegagalan dalam mencapai tinggi badan yang normal dan sehat sesuai usia anak.
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh stunting dapat dilihat dari segi jangka pendek maupun jangka Panjang. Dampak jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh anak. Sedangkan dampak dalam jangka panjang akibat dari stunting adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan resiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua (Haryani, 2021). Kondisi tersebut kemudian akan mengasilkan sumber daya manusia yang tidak produktif, menghambat pertumbuhan ekonomi, menciptakan kemiskinan antar generasi dan memperburuk kesenjangan (Materi presentasi Penanggulangan Stunting, 2018).
Menurut standar WHO, batas maksimal toleransi angka stunting yaitu di angka 20 persen atau seperlima dari jumlah total anak balita yang sedang tumbuh, sedangkan Indonesia masih berada di angka 27,67 persen (Anugrah, 2021). Oleh sebab itu angka stunting Indonesia berada di urutan ke-4 dunia dan peringkat kedua dikawasan Asia Tenggara Berdasarkan data Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2019, mencatat sebanyak 6,3 juta balita dari populasi 23 juta balita di Indonesia. Hal ini terjadi di seluruh wilayah dan lintas kelompok pendapatan baik itu pada keluarga miskin maupun keluarga tidak miskin
Tingginya masalah stunting di Indonesia, menjadikan penanganan stunting sebagai prioritas pembangunan nasional. Oleh sebab itu berbagai kebijakan dan regulasi telah dikeluarkan pemerintah dalam rangka penanggulangan stunting. Adapun kebijakan/regulasi tersebut yaitu: 1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025; 2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019; 3) Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015; 4.Undang-Undang (UU) No.36/2009 tentang Kesehatan; 5) Peraturan Pemerintah (PP) No.33/2012 tentang Air Susu Ibu Eksklusif; 6) Peraturan Presiden (Perpres) No.42/2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi; 7) Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No.450/Menkes/SK/ IV/2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Secara Eksklusif Pada Bayi di Indonesia; 8) Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.15/2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu; 9) Permenkes No.3/2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat(STBM); 10) Permenkes No.23/2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi; 11) Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (Nisa, 2018; Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, 2018). Leading sector dalam kegarakan penanganan stunting tersebut adalah Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial.
Intervensi spesifik yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dalam penanganan masalah stunting melalui Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dimana fokus utamanya adalah 1000 hari pertama kehidupan (HPK) karena stunting hanya bisa teratasi selama periode 1000 HPK atau dari masa kehamilan sampai anak berumur dua tahun dan disaat otak anak berkembang pesat. Oleh sebab itu upaya dalam pencegahan stunting dimulai dengan penyuluhan dan konseling demonstrasi untuk mencegah anemia dan kurang energi kronik (KEK) dengan asupan gizi yang seimbang. Hal tersebut dilakukan dengan memberdayakan posyandu yang sudah ada (Megawati, et al, 2019).
Sedang Intervensi yang dilakukan oleh Kementerian Sosial dalam penanganan masalah stunting melalui program keluarga harapan (PKH) dan program sembako (bantuan pangan non tunai/BPNT). Dua program tersebut dipilih karena mencakup sasaran yang sangat besar dan efektif mendukung penanganan masalah stunting dimana PKH mencakup 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM) atau 40 juta jiwa apabila satu keluaga terdiri dari empat jiwa. Sedangkan program sembako mencakup 20 juta KPM atau 80 juta jiwa, apabila satu keluaga terdiri dari empat jiwa (Setiawan, 2020).
Selain itu, didalam dua program tersebut terdapat tujuan yang berhubungan langsung dengan agenda kesehatan. Hal tersebut terlihat dari program sembako merupakan bantuan yang berfokus pada pemenuhan gizi masyarakat. Sedangkan di PKH terdapat dua dari tujuh kompenen yang ada berfokus langsung dengan aspek kesehatan, yakni ibu hamil dan balita.
Pada penerapannya program sembako disalurkan melalui mitra perbankan HIMBARA dan agen yang ditunjuk untuk dibelanjakan sejumlah bahan pangan di tempat yang ditentukan. Pada sistemnya, bantuan tersebut tidak dapat diambil secara tunai, namun dapat dibelanjakan dengan barang kebutuhan pangan yang mengandung: 1) karbohidrat, seperti beras, jagung pipilan, dan sagu; 2) protein hewani, seperti telur, daging ayam, daging sapi, dan ikan segar; 3) protein nabati, seperti kacang-kacangan, tahu, dan tempe; 4) sumber vitamin dan mineral, seperti sayur mayur dan buah-buahan (Amalia, 2021). Melalui bantuan tersebut diharapkan dapat mendorong pemenuhan kebutuhan nutrisi keluarga. Dalam pelaksanaannya, program sembako merupakan tangung jawab Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK).
Terkait dengan penanganan masalah stunting, sebagai bagian SDM kesejahteraan sosial, TKSK dapat berperan dengan cara melakukan monitoring dan tindakan efektif lainnya untuk memastikan bantuan sembako dapat disalurkan dengan cepat ke tangan KPM, tepat kualitas, dan tepat harga. Selain itu TKSK juga dapat berperan dengan mendorong terjadinya perubahan sosial di masyarakat dengan cara sosialisasi terkait masalah stunting. Hal ini dapat dilakukan oleh TKSK karena TKSK adalah orang setempat yang lebih memahami situsi dan kultur masyarakat ditempatnya, sehingga menyebabkan TKSK tidak menghadapi resistensi ketika melakukan perubahan sehingga akan lebih mudah untuk merubah cara pikir masyarakat.
Berbeda dengan program sembako, PKH berfokus kepada kegiatan pencairan bantuan secara non tunai melalui transfer langsung oleh bank (Tristanto, 2020). Terkait dengan bantuan sosial PKH yang diberikan kepada KPM PKH dengan kategori ibu hamil dan balita merupakan bagian dari upaya pencegahan stunting. Dengan bantuan tersebut diharapkan dapat mendorong pemenuhan kebutuhan nutrisi keluarga terutama ibu hamil dan balita pada KPM PKH. Kemudian diikuti dengan mewajibkan KPM PKH tersebut untuk secara rutin memeriksakan kesehatannya di fasilitas kesehatan sesuai protokol kesehatan yang berlaku. Dalam pelaksanaannya dilapangan, PKH merupakan tangung jawab pendamping sosial PKH.
Sebagai bagian SDM kesejahteraan sosial, pendamping sosial PKH dapat berperan dalam penanganan stunting dengan cara memastikan seluruh anggota keluarga dari KPM harus memenuhi kewajiban kepesertaan PKH. Kewajiban itu berupa KPM yang sedang hamil harus memeriksakan kandugannya ke fasititas kesehatan minimal sebanyak 4 kali selama kehamilan. Selain itu pada saat melahirkan harus fasilitas pelayanan kesehatan dan setelah nya memeriksakan kesehatan ibu nifas 4 kali selama 42 hari setelah melahirkan. Bagi KPM yang memiliki anak balita harus membawa ke Posyandu setiap bulan, sedangkan bagi KPM yang memiliki anak usia sekolah harus menyekolahkan anak dan memastikan tingkat kehadiran anak diatas 85% setiap bulannya.
Selain itu, pendamping sosial PKH juga dapat berperan dalam menurukan angka stunting dengan cara memberikan edukasi guna meningkatkan praktik positif dalam mendorong terjadinya perubahan perilaku kesehatan penerima manfaat PKH terkait hal kesehatan dan gizi. Hal ini dapat dilakukan oleh pendamping sosial PKH dalam kegiatan dan pertemuan peningkatan kemampuan keluraga (P2K2). Tujuannya adalah Setelah pelaksanaan kegiatan ini diharapkan terjadi peningkatan pengetahuan, terutama mengenai pentingnya 1000 HPK, kesehatan dan gizi ibu hamil, nifas dan menyusui, bayi dan balita, serta pola asuh pada KPM PKH.
Daftar Rujukan.
- Amalia, N. (2021). Pelindungan Sosial Ditengah Pandemi Melalui Bantuan Sosial. Diakses dari https://puspensos.kemensos.go.id/pelindungan-sosial-ditengah-pandemi-melalui-bantuan-sosial. (6 Mei 2021)
- Anugrah, A. (2021). Penyuluhan Sosial Dalam Pencegahan "Stunting" Pada Anak. Diakses dari https://kemensos.go.id/ar/penyuluhan-sosial-dalam-pencegahan-stunting-pada-anak . (6 Mei 2021)
- Aridiyah, F. O., Rohmawati, N., & Ririanty, M. (2018). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting pada Anak Balita di Wilayah Pedesaan dan Perkotaan. e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol. 3 (no. 1).
- Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat. (2018). Penurunan Stunting Jadi Fokus Pemerintah. Diakses dari http://www.depkes.go.id/article/view/18050800004/penurunan-stunting-jadi-fokus-pemerintah.html . (6 Mei 2021)
- Gibney, M., Barrie M., John M., & Lenore Arab. (2008) Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC.
- Haryani, S., Astuti, A. P., & Sari, K. (2021). Pencegahan Stunting Melalui Pemberdayaan Masyarakat Dengan Komunikasi Informasi Dan Edukasi Di Wilayah Desa Candirejo Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang. Jurnal Pengabdian Kesehatan, 4(1), 30-39.
- Kemenkue. (2018). Materi presentasi Penanggulangan Stunting. Diakses dari https://www.am2018bali.go.id/UserFiles/kemenkeu/News/PaparanStuntingKemenkeu2018web.pdf. (6 Mei 2021)
- Megawati, G., & Wiramihardja, S. (2019). Peningkatan Kapasitas Kader Posyandu Dalam Mendeteksi Dan Mencegah Stunting. Dharmakarya, 8(3), 154-159.
- Notoatmodjo, S. (2003). Promosi Kesehatan (Teori dan Aplikasi). Rineka Cipta: Jakarta.
- Nisa, L. S. (2018). Kebijakan Penanggulangan Stunting Di Indonesia. Jurnal Kebijakan Pembangunan, 13(2), 173-179.
- Ni’mah, K., & Nadhiroh, S. R. (2015). Faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita. Media Gizi Indonesia, 10(1), 13-19.
- Setiawan, K. (2020). Mensos: Penanganan Stunting Tidak Sekadar Masalah Gizi. Diakses dari https://kemensos.go.id/mensos-penanganan-stunting-tidak-sekadar-masalah-gizi . ( 6 Mei 2021)
- Tristanto, A. (2020). Sama Tetapi Berbeda (Sekilas Terkait Bansos PKH Dan Program Sembako). Diakses dari https://puspensos.kemensos.go.id/sama-tetapi-berbeda-sekilas-terkait-bansos-pkh-dan-program-sembako . (6 Mei 2021)
sumber : https://puspensos.kemensos.go.id/stunting-dan-peran-tksk-serta-pendamping-sosial-pkh-dalam-pencengahannya, akses tgl 01/09/2022.
Post A Comment: